SELAMAT DATANG DIDUNIAKU, MARI BERJUANG UNTUK UMAT DAN BANGSA
PERJUANGAN KOE
Photobucket
Clock
Download Lagu
  • Slank
  • Boomerang
  • Naff
  • Comment
    SUMPAH PEMUDA SEBAGAI MOMENTUM KEBANGKITAN
    Jumat, 29 Oktober 2010
    RENO FERNANDES
    (Ketua Bidang Partisipasi Daerah Hmi Cabang Padang)

    Menurut fitrah kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada kemerdekaan itu. Sifat dan suasana bebas dan kemerdekaan seperti diatas, adalah mutlak diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan. Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau generasi muda.
    Pemuda dan kualitas-kualitas yang dimilikinya menduduki kelompok elit dalam generasinya. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektif yang harus diperankan Pemuda bisa dilaksanakan dengan baik apabila mereka dalam suasana bebas merdeka dan demokratis obyektif dan rasional. Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri dari pada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas.
    Sejarah telah mencatat, pemuda Indonesia selalu terlibat dalam tiap perubahan sosial yang terjadi di Negara ini, sejak era kebangkitan nasional, Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga bergulirnya era Reformasi 1998. Dapat kita ketahui bahwa, Pemuda adalah generasi penerus bangsa, yaitu pemilik gagasan-gagasan revolusioner penuh dengan harapan dan semangat berdikari yang meningkat.
    Keragaman gerakan pemuda tidaklah menjadi sebuah kendala dalam pemersatu bangsa, selagi pemuda-pemuda tersebut menyadari ikrar yang pernah terucapkan pada 28 Oktober 1928 yaitu "Sumpah Pemuda". Dengan menyatakan bahwa kita adalah satu bangsa, satu bahasa, dan bertanah air satu yaitu Indonesia berarti kita sama-sama memiliki satu visi dan misi yang mesti kita wujudkan.
    Stigma Negatif Terhadap Pemuda
    Namun sangat di sayangkan Akhir-akhir ini gerakan pemuda mulai kehilangan arah sehingga keberadaannya mulai dipinggirkan oleh berbagai pihak. Akhir-akhir ini banyak kecemasan terhadap generasi muda yang dipersepsikan kian sulit menggapai masa depan lebih baik, dan sekaligus juga tidak memiliki karakter, jati diri, etos kebangsaan, sehingga dapat mempengaruhi masa depan bangsa dan negara. Berbagai permasalahan yang selalu diperbincangkan tentang Generasi Muda. Mulai dari masalah Moral, sampai kepada masalah Pendidikan.
    Salah satu permasalahan yang sering dibahas terkait dengan generasi muda adalah ketahanan budaya dan kepribadian budaya lokal yang semakin luntur, Kemunduran itu sering dikaitkan dengan cepatnya perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi, derasnya arus informasi global yang berdampak pada penetrasi budaya asing. Hal ini mempengaruhi pola pikir sikap, dan perilaku generasi muda di Ranah Minang. Persoalan tersebut dapat dilihat dari kurang berkembangnya kemandirian, kreativitas, serta produktivitas dikalangan generasi muda, sehingga generasi muda kurang dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan Bangsa ini.
    Memaknai Hari Sumpah Pemuda
    Sumpah Pemuda mempunyai makna yang sangat mendalam bagi bangsa ini, sumpah pemuda berisi ikrar bersatunya dan disatukannya tunas-tunas bangsa oleh kesamaan tanah air, bangsa dan bahasa.  Ini mengingatkan kembali jati diri kita sebagai bagian dari NKRI yang harus senantiasa menjaga dan mempertahankan NKRI dari segala macam tantangan, ancaman maupun krisis. Sudah selayaknya kita bersatu dan memperkuat ikatan satu sama lain agar Indonesia tetap kokoh dan bertahan di tengah krisis global yang mengancam ekonomi negeri ini. Sumpah Pemuda membawa beritabaik bahwa sampai saat ini kita masih disatukan oleh tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia. Persatuan dan Kesatuan merupakan langkah dasar kemajuan suatu bangsa.
    Kebangkitan pemuda tidak hanya berarti mereka bangun dari keterpurukan pada masa silam, akan tetapi bangkit untuk bertindak melakukan pergerakan-pergerakan yang dapat membawa Negeri ini jauh dan bahkan terhindar dari keterpurukan tersebut. Karena salah satu peran pemuda itu adalah ikut memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi bangsa. Indikasinya agar mampu membangkitkan kesadaran pemuda mengenal jati dirinya dan moralnya dalam membangun karakter bangsa ke depan.
    Kebangkitan Pemuda tentunya harus dimaknai dengan pergerakan-pergerakan yang  nyata dalam konteks perubahan menuju yang terbaik. Kebangkitan pemuda juga harus didukung oleh semua elemen masyarakat. Sudah saatnya pemuda layak diberi kesempatan dan diperhitungkan dalam setiap proses pembangunan di negeri ini. berikan kesempatan dan kepercayaan kepada pemuda agar mereka turut merasakan bahwa keberadaan mereka benar-benar diperhitungkan dan berguna bagi nusa dan bangsa, Setidaknya hal ini akan menimbulkan kesadaran akan tanggung jawab pada kepercayaan yang telah diberikan itu. faktanya, tidak semua dari mereka yang melakukan tindakan-tindakan penyimpangan yang pada intinya menimbulkan produk yang rusak. Sementara sebagian dari mereka telah berusaha memfilter tindakan mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak pantas dilakukan.
    Selamat Hari Sumpah Pemuda, Bangkitlah Pemuda Indonesia. Yakin Usaha Sampai.




    posted by RENO FERNANDES @ 22.00   0 comments
    Sabtu, 16 Oktober 2010
    posted by RENO FERNANDES @ 00.03   0 comments
    SEKOLAH DAN INVOLUSI PENDIDIKAN
    Jumat, 15 Oktober 2010
    RENO FERNANDES
    (Ketua Bidang Partisipasi Pembangungan Daerah HMI Cabang Padang)

    Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar sebuah kata “Sekolah” apakah sebuah bangunan, ada Guru, ada kepala sekolah, atau hanya bangunan yang di isi dengan papan tulis, kursi, meja yang setiap hari kecuali hari minggu yang di huni oleh banyak orang? Ya itu juga ada benar karena semuanya itu adalah adalah sub-sub system yang ada di Sekolah. Sekolah umumnya dimaknai dengan suatu suatu lembaga yang sengaja di rancang untuk menyelenggarakan pendidikan yang menurut Bloom, bahwa sekolah pada dasarnya berfungsi menggarap tiga wilayah kepribadian manusia yang sering disebut dengan taksonomi bloom yaitu membentuk watak dan sikap (Ranah Afektif), mengembangkan ilmu pengetahuan (Ranah Kognitif), serta melatih keterampilan (Ranah Psikomotor).
    Rumusan Blom itu berlaku universal, semua orang akan menjawab sama : sekolah bertugas bertugas mendidik manusia untuk berwatak, berpengetahuan dan berketerampilan. Intinya sekolah bertugas memanusiakan seseorang dalam arti yang sesungguhnya karena tiga piranti tersebut (Kognitif, Afektif, Psikomor) yang menjadi pembeda manusia dengan makluk lainya. Terus bagaimanakah kenyataannya?
    Belakangan ini sangat sering kita mendengar berbagai masalah yang terkait dengan manusia yang disekolahkan diantaranya : Video Mesum Remaja yang bersekolah, Korupsi yang tentunya dilakukan oleh Orang yang Bersekolah (Pejabat Pemerintahan) yang tentunya mereka mendapat haknya dari sekolah yaitu (Kognitif, Afektif, Psikomor), tawuran antar pelajar, Narkoba, tak sedikit banyaknya pengganguran dari kalangan orang yang mengecap sekolah atau sebut saja pengangguran terdidik dan banyak carut- marut lainnya yang dilakukan oleh orang yang mendapat pendidikan disekolah.
    Dua hal yang sangat bertolak belakang berbagai macam inovasi yang hadir dalam dunia pendidikan sebut saja berbagai macam metode pengajaran baru, Teknlogi yang dipakai dalam dunia Pendidikan, sebut saja salah satunya computer, Internet, Media Pembelajaran yang sekarang juga telah memakai benda elektronik tujuannya tidak lepas dari mempermudah dan terbinanya manusia dalam artian seutuhnya. Lalu tetap saja wajah para manusia yang berpendidikan seperti yang telah ada diatas.
    Element lain yang juga mendukung sekolah dapat menjalankan fungsinya adalah Guru. Seperti yang kita dengar selama ini Sejak dulu orang mengatakan pekerjaan guru adalah tugas yang mulia meskipun citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa kini semakin klise adanya. Dimana-mana di dunia, termasuk di Indonesia, kini para guru tetap merupakan kemlompok sosial dan prifesi yang penting, di banyak negara berkembang, mereka merupakan kelompok besar yang menerima gaji dari pemerintah. Kedudukan guru demikian penting karena seluruh tingkat dan angkatan pelaksanaan di lapangan pendidikan, baik formal maupun non-formal. Barisan guru dianggap paling menentukan tingkat keberhasilan tujuan-tujuan program pendidikan yang dirancang oleh ahli perencanaan pendidikan.
    Begitu banyak alasan yang dikemukakan mengapa tumpuan harapan ditumpahkan kepada guru. Antara lain karena memang kepada guru-lah diserahkan kepercayaan tugas dan tanggung jawab moral untuk mendidik dan mengajar generasi penerus bangsa dan pencipta sejarah masa depan. Alasan kedua ialah, dalam tataran yang lebih sempit, tetapi sangat esensial karena tugas para guru di front terdepan dalam perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa memberikan kesaksian betapa mereka berinteraksi secara langsung dengan peserta didik selama hari-hari bersekolah.
    Profesi guru juga sebagian saja dari persoalan pendidikan dewasa ini. Namun persoalannya, jauh lebih rumit, mencakup banyak persoalan di luar jangkauan Teori Ilmu Pendidikan. Berbagai macam program pemerintah yang diberikan dalam rangka meningkatkan kualitas Guru-guru yang mengajar disekolah – sekolah, sebut sajalah sertifikasi Guru salah satu bentuk program dalam rangka meningkatkan kualitas guru. Berbagai macam seminar dan diskusi, beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya, menaikan gaji Guru dan banyak program lainnya. Namun kembali kita harus merenung kenapa masih saja muncul masalah yang dilakukan oleh orang yang mengecap pendidikan seperti yang kita ceritakan diatas.
    Melihat fenomena yang terjadi pada dunia pendidkan kita hari ini, agaknya kita perlu memikirkan secara lebih bersungguh-sungguh tentang tantangan yang tengah dihadapi oleh lembaga pendidikan yang semakin mengalami involusi, suatu jargon antropologi untuk mengacu kepada keadaan “maju ke arah kekaburan” hingga menghasilkan kebingungan-kebingungan yang tidak menentu. istilah involusi untuk menggambarkan Pendidikan kita yang tengah mengalami  krisis tersembunyi ataupun terbuka. Memang persoalan pendidikan hanyalah salah satu persoalan yang krusial dalam masalah pembangunan bangsa dewasa ini. Tetapi mungkin tidak ada persoalan lain yang mengalami rintangan paling besar, selain pendidikan dalam semua iktisar manusia Indonensia merdeka untuk mencapai “kemajuan pembangunan” yang dibayangkan.
    Mengingat ruetnya masalah pendidikan bangsa yang sudah 65 tahun merdeka ini, kita dapat dan harus menyelami arti sebenarnya dari pendidikan dalam dunia moderen ini. Tidak hanya dengan menetapkan kembali kewajiban dan tanggung jawabnya kepada generasi sekarang, yang harus disiapkan untuk menyambut dunia masa depan, melainkan juga menanalisis atau menelaah kekuatan-kekuatan dan mitos yang mendasarinya, kemungkinan masa depannya dan tujuan serta sasaran utamanya. Lalu kembali kita pada masalah Sekolah diatas, siapa dan apakah yang harus kita salahkan, Apakah Sarana dan Prasarana sekolah, Apakah Pemerintah, Guru disekolah, murid. Dengan ini muncul pertanyaan di benak penulis sendiri Seberapa penting Institusi Sekolah hari ini, apakah masih perlu ada sekolah Formal, atau cukup saja kita memaknai pepatah Orang minang yang terbukti ampuh menciptakan manusia minang dahulu yang cendikia yakni“ Alam Takambang Jadi Guru”.


    posted by RENO FERNANDES @ 04.47   0 comments
    “FATWA” DAN KETERATURAN SOSIAL
    Selasa, 12 Oktober 2010

    RENO FERNANDES
    (Ketua Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Cabang Padang)

    Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat madani tentu adanya kondisi sosial yang teratur. Dimana hubungan antar masyarakat berjalan secara dinamis dan seimbang, Dalam ilmu sosiologi istilah yang dipakai untuk mengungkapkan hal diatas ialah keteraturan sosial.
    Proses terjadinya Keteraturan sosial tentu mempunyai beberapa tahapan, diantaranya : (1) Pola, bentuk umum dari suatu interaksi yang berlangsung dalam masyarakat yang dijadikan contoh oleh anggota masyarakat (2) Order tatanan nilai dan norma yang diakui dan ditaati oleh masyarakat. (3) Keajegan, suatu kondisi keteraturan yang tetap dan berlangsung terus menerus. (4) Tertib Sosial, keselarasan tindakan masyarakat dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Intinya keteraturan social akan muncul dari kesadaran masyarakat sendiri dan melalui proses yang cukup panjang. Namun terwujudnya masyarakat madani tentu menuai berbagai halangan salah satunya keteraturan social yang multitafsir.

    Keteraturan Sosial yang Multitafsir
    Majelis Ulama Indonesia Akhir-akhir ini banyak mengeluarkan Fatwa, Mulai fatwa tentang aliran sesat, bunga bank, golput, yoga, rokok, pembangkit tenaga nuklir, rebonding, prewedding, infotainment, ringtone ayat-ayat Alquran, Facebook, sampai naik ojek. mereka mengeluarkan fatwa tersebut tentunya demi umat dan bangsa ini. Tetapi, mengapa tindakan ini mengundang kontroversi amat tajam.
    Salah satu penyebab kontroversi tersebuat adalah "keteraturan sosial" yang sering didefinisikan secara sepihak. Bagi MUI (Majelis Ulama Indonesia), keteraturan sosial adalah "patuh pada aturan yang mereka buat. Ini benar. Tapi perlu diingat, keteraturan secara sosiologis adalah suatu patterned behavior atau patterned interaction (perilaku atau interaksi sosial yang terpola karena dilakukan oleh orang banyak secara berulang-ulang atau terus-menerus) sehingga masyarakat dapat meramalkan dan mengantisipasi perilaku orang lain dalam interaksi sehari- hari. Lama-kelamaan pola ini menjadi suatu "norma" yang meski tidak formal (legal), tetapi disepakati di antara warga masyarakat. Masyarakat justru akan mengalami kekacauan atau kebingungan (disorder) bila tiba-tiba kesepakatan itu berubah sehingga satu sama lain tidak dapat mengantisipasi apa yang akan dilakukan lawan interaksinya.
    Jadi, secara sosiologis keliru bila dikatakan "keteraturan sosial di masyarakat kita sudah hancur karena banyak orang yang melanggar Hukum". yang sebenarnya terjadi adalah, pada masyarakat kita masih ada "keteraturan sosial", tetapi cenderung bertentangan arah dengan aturan yang berlaku yang dibuat oleh  Lembaga Agama ataupun Lembaga Pemerintahan. Dengan kata lain, pola interaksi yang sudah disepakati antarwarga (keteraturan sosial) tidak sejalan dengan ketertiban hukum (legal order). Inilah masalah sosiologis paling mendasar di masyarakat kita.

    Konformis Terhadap Norma

    Proses konformis Terhadap Norma tentunya tidak akan terjadi begitu saja tetapi proses itu akan memakan waktu yang cukup lama. Pada umumnya  orang-orang  dalam  masyarakat  cenderung  konformis  (menyesuaikan  cara hidupnya:  cara  berfikir,  berperasaan  dan  bertindak)  dengan  yang  berlaku  di  lingkungan kelompoknya. Misalnya: anak  laki-laki bermain dengan “mainan  laki-laki”, anak perempuan bermain  dengan  “mainan  perempuan”,  apabila  diberi  kesempatan  saling  berinteraksi maka cenderung memiliki opini atau pendapat yang sama, dan seterusnya. Mengapa orang-orang cenderung konformis terhadap norma-norma social. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor: 
    1. Orang  yang  bersangkutan  telah  berhasil  disosialisasikan  sehingga menginternalisasikan nilai dan norma yang berlaku di masyarakatnya 
    2. Orang yang bersangkutan  tidak dapat menemukan alternatif  lain kecuali mengikuti pola yang sudah ada 
    3. Apabila  tidak  konformis  dengan  norma  sosial  akan  direaksi  dengan  pemberian  sanksi oleh masyarakat, dan apabila konformis akan mendapatkan positive-incentive  (ganjaran) dari masyarakat.
    Seperti apa yang telah dijelaskan di atas Kontoversinya Fatwa yang dibuat oleh MUI di sebabkan oleh tidak sejalanannya makna tentangnya keteraturan sosial dalam masyarakat itu sendiri dengan keteraturan sosial yang di interpetasikan oleh MUI. Seperti, Fatwa merokok yang dikeluarkan MUI tentunya menginginkan masyarakat yang sehat terbebas dari asap rokok, dan yang paling terpenting terbebas dari segala macam penyakit. Begitu juga pada kasus fatwa Golput Haram yang menginginkan supaya pemimpin yang dipilih oleh rakyat benar-benar mewakili Rakyat. begitu juga fatwa yang lainya tentunya menginginkan sebuah keteraturan, inilah Keteraturan Sosial Menurut Versi MUI, Sementara itu masyarakat mempunyai pemahaman lain mengenai Keteraturan sosial, Merokok bagi masyarakat kita sudah menjadi Tradisi, bahkan merokok dapat meningkat silahturrahmi dalam masyarakat, Golput terjadi karena kebosanan masyarakat terhadap janji-janji pemimpinnya itulah keteraturan sosial menurut masyarakat.
    Untuk mengubah sebuah “keteraturan sosial” yang sudah mengakar dalam masyarakat tidaklah mudah dan tentu dengan konsekuensi waktu, fikiran dan tenaga. semuanya itupun terjadi apabila nilai dan norma tersebut disosilisasikan dengan baik ditengah masyarakat. Tetapi hari ini Penguasa untuk menanamkan nilai-nilai baru ditengah masyarakat menggunakan cara Menerabas (Meminjam konsep yang dikemukakan oleh Koentjaraninggat Menerabas yaitu memilih jalan pintas). Seperti halnya sebuah Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Keluarnya sebuah Fatwa tentu dengan Asumsi masyarakat akan lebih mematuhi sebuah aturan karena Fatwa berhubungan dengan konsekuensi Akhirat. Tetapi Realita yang terjadi meskipun fatwa dikeluarkan oleh MUI, ternyata tidak dapat mengurangi jumlah perokok dan jumlah Golput di negeri ini. Jadi penanaman sebuah nilai - norma tentunya tidak bisa dipaksakan Karena akan berakibat terjadinya pertentangan dengan masyarakat. Penanaman sebuah nilai baru haruslah melalui prosesnya dan tidak akan pernah bisa ditempuh dengan jalan menerabas.

    Tulisan ini telah di Muat di Harian Singgalang, Jumat 3 September 2010
    posted by RENO FERNANDES @ 09.32   0 comments
    PENGANGGURAN TERDIDIK
    Senin, 11 Oktober 2010
    Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Cabang Padang

    Sangat mengherankan Jumlah penganggur terdidik di Indonesia setiap tahun terus bertambah. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah sarjana (S-1) pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, tepatnya Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau sekitar 626.200 orang. Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, pada Februari 2012 terdapat lebih dari 1 juta pengangguran terdidik. Belum ditambah pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) terus meningkat.
    Fenomena ini tentunya terasa lucu jika kita beracuan kepada tujuan pendidikan nasional yakni: “Pendidikan merupakan pilar tegaknya bangsa; Melalui pendidikanlah bangsa akan tegak mampu menjaga martabat. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

    Wajah Perguruan Tinggi dan Mahasiswa

    Banyaknya pengangguran terdidik di Indoensia disebabkan beberapa hal. Pertama, kompetensi lulusan yang masih rendah. Kedua, tidak sesuai kebutuhan dunia kerja. Berbagai gelar kesarjanaan yang disandang tidak mempunyai peluang kerja strategis sehingga tumpukan sarjana tidak tersalurkan secara seimbang. Ketiga, adanya program studi yang jumlah lulusannya sudah terlalu melimpah. Akhirnya, mereka menumpuk dalam stok ”cuci gudang” yang tidak laku dalam bursa lapangan kerja. Keempat, paradigma job oriented. Belajar di kampus sekadar dimaknai sebagai pencarian kerja sehingga proses belajar yang dijalani tidak begitu serius, asal lulus sebagai syarat formalitas mencari kerja. Itu merupakan persoalan paling mendasar dalam konteks tragedi pengangguran kaum terpelajar di Indonesia.
    Dari beberapa penyebab diatas dapat kita klarisifikasi menjadi 2 bagian, Pertama, penggangguran yang disebakan oleh Perguruan Tinggi. Beberapa tahun belakangan ini banyaknya perguruan tinggi baru bermunculan baik swasta ataupun negeri dengan berbagai macam jurusan baru di perguruan tinggi. Kondisi seperti ini tambah diperparah dengan semakin banyaknya jalur masuk menjadi mahasiswa. Baik jalur UMB, SNPTN, Sampai jalur ekstensi, atau Non Reguler (Jalur masuk ke perguruan tinggi negeri yang dikelola oleh perguruan tinggi negeri yang bersangkutan). Kondisi inipun diperparah lagi dengan semakin banyaknya penerimaan mahasiswa di PTN Swasta ataupun Negeri. Penerimaan mahasiwa yang dilakukan oleh perguruan tinggi tidak pernah memikirkan kemana masiswa ini mau dilempar setelah menjadi sarjana. Atau lebih tepanya Perguruan Tinggi tidak bertanggung jawab atas apa yang di perbautnya. Kedua, Pengganguran yang disebabkan oleh orientasi mahasiswa. hal  ini merupakan hal yang sangat mendasar terciptanya pengganguran terdidik di Negeri ini. Paradigma yang berorientasi job oriented telah menjadikan mahasiswa sebagai ”Calon Buruh-buruh terdidik” sehingga dalam menerima materi pembelajaran dari kampus, mereka tidak mampu membaca secara kritis dan tidak melakukan eksperimentasi kritis yang eksperimental dalam kajian keilmuan yang ditekuninya. Hasilnya adalah peserta didik yang ‘bergentayangan mencari kerja, tak tahu arah dan orientasi keilmuan yang menjadi disiplin belajarnya.

    Pengaruh Kuliah-Pulang
     
    Selama ini, seperti pengalaman yang saya jumpai semasa masih mahasiswa, Kawan-kawan mahasiswa datang ke kampus hanya untuk mengikuti rutinitas perkuliahan. Namun di luar itu, waktu senggangnya hanya diisi dengan kegiatan nongkrong sambil bicara ngalor ngidul dengan sesama temannya. Sementara untuk sekedar meluangkan waktu berkunjung ke perpustakaan sebagai gudang ilmu tak sempat dilakukan.
    Waktu luangnya pun tidak untuk digunakan dengan diisi berbagai kegiataan bermanfaat seperti aktif di organisasi, mengikuti berbagai seminar atau forum kajian ilmiah yang termasuk kegiatan positif. Yang terjadi semasa mahasiswa hanya bersenang-senang dan tak mempedulikan tujuannya untuk mendapatkan ilmu bermanfaat sebagai bekal mengarungi dunia kerja setelah meraih titel sarjana.
    Hal inilah yang menjadi penyebab ketika sudah mengantongi gelar akademik yang cukup bergengsi sekali pun sering terjadi seseorang masih kesulitan mendapatkan kerja sebab tak punya skill mumpuni yang menjadi tuntutan mutlak dunia kerja. Jika seperti itu, tak ada lagi yang bisa diperbuat karena semuanya sudah terlambat. Dan kondisi itu yang sekarang ini dialami banyak sarjana ketika memasuki dunia kerja dengan modal ijazah semata, yang membuat pengangguran bertambah. Di waktu bersamaan, banyak pula perusahaan yang kesulitan mendapat tenaga kerja akibat minimnya skill yang dimiliki tenaga kerja.
    Disisi lain orientasi pendidikan yang menekankan pada penyiapan kerja juga menyebabkan pengangguran sarjana meningkat karena rendahnya daya serap bursa kerja dalam arti khusus. Kesalahan orientasi ini pula banyak sarjana yang mempunyai tujuan untuk menjadi PNS atau bekerja pada perusahaan maupun institusi-institusi. Mereka rela menganggur sampai beberapa saat untuk memperoleh pekerjaan yang dianggap sesuai hingga kesana kemari dalam pengajuan. Semoga di Hari Sarjana Nasional pada tanggal 29 September 2010 ini Para sarjana Indonesia memaknai Fungsi dan Perannya. Yakin Usaha Sampai


    Tulisan ini dimuat Harian Singgalang, Sabtu 2 Oktober 2010 

    posted by RENO FERNANDES @ 05.45   0 comments
    SEJARAH DISKRIMINASI DAN PARTISIPASI POLITIK ETNIS TIONGHOA
    RENO FERNANDES
    Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Cabang Padang

    Adanya jaminan terhadap partisipasi politik masyarakat adalah sebuah ciri dari negara Demokrasi, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Bila suatu negara membatasi akses dan keterlibatan warganya dalam setiap pengambilan keputusan, maka demokrasinya belum dapat dikatakan berkembang secara baik. Adanya kebebasan rakyat dalam menjalankan partisipasi politik menjadi ukuran terpenting, untuk melihat eksistensi demokrasi dalam suatu negara. Demokrasi sebagai suatu sistem politik berupaya untuk memberikan wadah seluas-luasnya kepada rakyat untuk turut berpartisipasi atau ikut serta secara politik dalam penyelenggaraan pemerintahan (Justian Suhandinata,2009).
    Partisipasi politik adalah hak seluruh masyarakat, tidak terkecuali pada etnis Tionghoa di Indonesia. Partisipasi politik etnis ini terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. ini terbukti pada pemilu legislatif 1999 tercatat 150 orang caleg berasal dari etnis Tionghoa, sedangkan pada pemilu legislatif tahun 2004 tercatat lebih dari 200 orang yang mencalonkan diri. Pada pemilu legislatif terakhir di era reformasi, jumlah etnis Tionghoa yang mencalonkan diri menjadi anggota legislati mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebanyak 213 orang di seluruh Indonesia (www.jawapos.co.id)
    Era Sulit Sampai Keterbukaan Celah Politik
    Gambaran di atas jelas merupakan perkembangan menggembirakan. Pasalnya, pasca tragedi 1965, etnis Tionghoa memasuki era pemasungan politik sehingga mereka hanya berkutat di bidang ekonomi. Etnis Tionghoa pun tenggelam di dalam kancah perpolitikan Indonesia seiring dengan kebijakan Orde Baru (Orba) yang menggiring etnis Tionghoa menjauh dari arena politik.
    Masa rezim Orba merupakan era paling sulit bagi etnis Tionghoa. Berbagai regulasi dibuat Orba untuk meminggirkan etnis ini dari ranah sosial politik, di antaranya (1) SE 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 mengenai Larangan Penerbitan dan Percetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina; (2) Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama,Kepercayaan dan Adat-istiadat Cina; (3) Instruksi Mendagri No 455.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng; (4) SE Presidium Kabinet RI No SE-06/ Pres-Kab/6/1967 mengenai Penggantian Istilah Tiongkok dan Tionghoa Menjadi Cina; (5) Instruksi Presiden No 37/U/ IN/6/1967 mengenai Badan Koordinasi Masalah Cina (BK MC); (6) Kep Presidium No. 127/U/ Kep/ 12/1966 mengenai Peraturan Ganti Nama bagi WNI Memakai Nama Cina.
    Menjelang jatuhnya rezim Soeharto, etnis Tionghoa juga masih harus menjadi tumbal, seperti terjadi dalam Tragedi 13–15 Mei 1998 atau biasa disebut dengan Tragedi mei kelabu yang semua itu tentunya menyisakan trauma mendalam bagi sebagian etnis ini. Hal inilah yang menjadi penyebab etnis Tionghoa memilih untuk tidak terlibat pada ranah politik praktis dan bidang profesi yang terkait dengan pemerintahan seperti PNS, TNI, POLRI sehingga mereka hanya berkosentrasi di bidang perekonomian.
    Trauma pada dunia politik itu pelan-pelan mulai sembuh, hal ini tentu tidak lepas dari gerakan Reformasi yang telah melahirkan banyak perubahan pada sistem pemerintahan. Peraturan-peraturan pemerintah yang di keluarkan pasca reformasi menimbulkan iklim yang bebas dan kondusif sehingga etnis Tionghoa mulai tertarik lagi pada politik praktis. Iklim yang bebas dan kondusif itu bahkan sudah dilengkapi dengan jaminan konstitusional akan kesetaraan antarwarga sehingga tidak ada lagi sekat-sekat antara pribumi dan nonpribumi. Hal Ini tampak dari lahirnya UU Kewarganegaraan No 12/2006 yang disahkan Presiden pada 1 Agustus 2006 dan lahir UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik (disahkan DPR pada 27 Oktober 2008).
    Partisipasi Politik Lokal Sumatera Barat
    Keterlibatan etnis Tionghoa pada ranah politik di Sumatera Barat juga sudah dimulai sejak tahun 1999 hal ini ditandai dengan adanya anggota DPR RI dari masyarakat etnis Tionghoa Kota Padang, dari tahun ketahun keterlibatan etnis Tionghoa pada Ranah Politik Praktis semakin meningkat yaitu pada penyelenggaraan pemilu 2004 ada 8 (delapan) orang etnis Tionghoa yang mencalonkan diri menjadi anggota DPRD kota Padang maupun DPRD Sumatera Barat namun yang berhasil duduk di Parlemen hanya 1 orang yaitu di DPRD Kota Padang. Partisipasi politik etnis Tionghoa ini terus mengalami peningkatan dan memperlihatkan eksistensinya pada pemilu 2009. Caleg dari etnis Tionghoa terus bertambah menjadi 9 ( sembilan) orang. Caleg-caleg yang bertarung pada pemilu ini berada pada tingkat pencalonan yang lebih komplit yaitu: DPR RI, DPRD Sumatera Barat dan DPRD Kota Padang. Jumlah caleg yang meraih kursi di Parlemen juga mengalami peningkatan pada pemilu ini 2 kursi di DPRD Kota Padang berhasil di duduki oleh para caleg ini. Terus bertambahnya etnis Tionghoa dalam ranah politik merupakan salah satu bentuk terwujudnya Demokrasi di Ranah Minang. Hal ini juga menunjukkan bahwasanya mulai terwujudnya multikulturalisme yakni suatu faham adanya kesetaraan dan saling menghargai meskipun dari etnis dan agama yang majemuk di Sumatera Barat. Semoga keharmonisan ini dapat kita jaga, Yakin Usaha Sampai

    TULISAN INI DIMUAT DI HARIAN SINGGALANG, SENIN 27 SEPTEMBER 2010

    posted by RENO FERNANDES @ 05.20   0 comments
    TENTANG KOE

    Name: RENO FERNANDES
    Home: Padang, Sumatera Barat, Indonesia
    About Me:
    See my complete profile
    JANTUNG KOE
    Photobucket
    KARYA KOE
    Archives
    Links
    Powered by

    BLOGGER

    © RENO FERNANDES Blogger Templates by FUAD NARI