Munculnya Rancangan Undang-undang desa membawa
berbagai respon bagi masyarakat baik itu yang positif atau Negatif. Responpun
dilancarkan dalam berbagai bentuk tindakan oleh masyarakat. Contohnya demonstrasi
yang dilakukan oleh Asosiasi Kepala Desa (AKD) se-Jawa Timur. Dalam kesempatan
orasinya menyampaikan tujuh butir yang harus dipenuhi agar tercakup dalam
Undang-Undang tentang Desa.
Poin-poin yang disampaikan Pertama, pertegas kedudukan dan kewenangan kepala desa. Kedua, 10 persen APBN untuk desa. Ketiga, jabatan kepala desa dari 6 tahun
menjadi 8 atau 10 tahun. Keempat, tidak ada pembatasan periodisasi kepala desa.
Kelima, meningkatkan kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa. Keenam
perangkat desa diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Ketujuh, tidak ada
larangan bagi kepala desa menjadi pengurus partai politik.(http://us.politik.vivanews.com/news/read/181079
diakses tanggal 9 februari 2012).
Gerakan yang juga dilakukan oleh kepala desa lainnya
di Indonesia, merupakan gerakan yang responsive terhadap peluang yang ada.
Gerakan ini tentunya demi eksistensi daerah yang dikelolanya. Melihat fenomena
ini tentunya memunculkan pertanyaan dibenak kita. bagaimana sikap sumatera
barat dalam menyambut UUD desa apakah hanya akan menunggu nasib atau
berkontribusi dalam proses penyusunan UU tersebut.
Memang sangat disayangkan, jika sampai saat ini belum
ada sebuah gerakan/upaya yang dilakukan oleh peminpin, tokoh atau masyarakat
Sumatera Barat memanfaatkan peluang dari penetapan UU desa ini. Menurut
penulis, orang minang sebagai daerah yang berkepentingan dengan UU ini, harus
segera memberikan sumbangan ide-ide, yang menyangkut kepada eksitensi Nagari.
Bukan hanya duduk terdiam dan menerima begitu saja yang dilakukan oleh
pemerintah pusat.
Fenomena yang tampak memang menunjukan lemahnya
semangat juang orang minang, buktinya masayarakat Sumatera Barat hanya
mempersiapkan langkah untuk menghadapi perubahan kebijakan. seperti mengenai
subsidi otonomi desa yang rencananya
10
persen APBN atau Rp 1 miliar per desa. Langkah yang diambil yaitu membuat Nagari di Sumatera Barat
sebanyak-banyaknya (pemekaran Nagari). Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa
orang minang memposisikan dirinya sebagai objeck bukan sebagai subjek yang terlibat
dalam menentukan pembuatan undang-undang tersebut.
Pemekaran
Nagari dan Tantangannya
Adat yang berlaku dalam masyarakat minang sama-sama
kita ketahui bersifat awet dan berkelanjutan. keawetan adat ini tidak bersifat
statis, tapi mengalami proses pembaharuan terus menerus sesuai dengan pepatah:“Sakali aia gadang, Sakali tapian berubah”
(Sekali air bah, Sekali tepian berkisar).
Namun merubah ketentuan adat di Minangkabau juga ada
rukun dan syaratnya. seperti juga diungkapkan dalam adat:“ Adat diubah ketika
telah dikenali tanda ketidakmampuannya bertahan: “Usang-usang dipabaharui,Lapuak-lapuak dikajangi”“Nan elok dipakai, Nan
buruak dibuang, Kok singkek mintak
diuleh, panjang mintak dikarek, nan umpang mintak disisiat”(Usang
diperbaharui, lapuk disokong, yang baik dipakai, yang buruk dibuang, Jika
singkat/pendek harap diulas, panjang harap dipotong, rumpang harap disisit)
Nah, kita kembali kepada pembahasan pemekaran nagari
sebagai bentuk siasat untuk kemajuan pembanguanan di Nagari. Langkah pemekaran
nagari menurut penulis sebuah langkah menerabas
yang akan merusak tatanan adat salingka nagari. Kenapa demikian?
Dalam hal pemekaran nagari tentunya banyak tanda tanya
dan hal-hal vital yang perlu diperhatikan. Pertama, pemekaran nagari induk menjadi banyak
nagaripenting dilihat
motivasinya. pertanyaannyaapakah inihanya keinginan sementara pihak- pihak tertentu untuk menjadikan
basis politik atau karena menginginkan
pembagian kue pembanguna lebih banyak seperti desa dulu. Sehingga kita tidak sadarakan
melumpuh semangat gotong royong yang selama ini menjadi roh hidup nagari. Motivasi seperti ini tentunya akan memunculkan
konflik nantinya.
Kedua, Pemerintahan nagari yang ada seperti saat sekarang
ini
(1 KAN:1 Wali Nagari) masih belum optimal pelaksanaannya.Hal ini juga disebabkan, interupsi budaya selama ini
belum pulih seutuhnya. Pelaksanaan pemerintahan Nagari yang masih mencari wujud
aslinya tentunya harus mengalami proses yang panjang untuk menggapainya. karena
pemerintahan nagari sudah lama tidak diaplikasikan di Sumatera Barat. Nah Jika
saat ini ditambahlagi beban dengan membangun nagari yang baru maka keterputusan
budaya itu semakin panjang dan semakin kabur cita-cita babaliak kanagari yang
sama-sama kita yakini dapat membuat masayarakat sumatera barat menjadi lebih
baik.
Jadi menurut penulis ada sesuatu yang lebih elegan yang
perlu dilakukan dari pada sekedar memekarkan nagari. Sesuai dengan semangat babaliak
kanagari dalam konteks daerah yang otonom seperti yang diamanahkan undang –undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah,
yang salah satu poinnya berbunyi “Desa atau yang disebut dengan nama lain,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam hal ini Nagari, merupakan kekuatan masyarakat
Sumbar yang sejak dulunya sudah diakui eksistensinya. Melaksanakan pemerintahan
nagari berarti mengembalikan jati diri masyara-kat Sumbar,” melaksanakan
pemerintahan nagari merupakan tuntutan dari aspirasi masyarakat. Sebab didalam
pelaksanaan pemerintahan nagari terkandung nilai-nilai kebenaran. Bagi
masyarakat Sumbar, kembali ke nagari berarti menemukan kembali jalan yang
benar.
Jika kita telusuri lebih dalam, sebenarnya ada
pertanyaan kritis yang harus kita lontarkan dalam RUU desa ini. yaitu soal
kedudukan nagari di
Sumatera Barat dalam konteks ketatanegaraan dan desentralisasi,
bagaimana memperkuat kewenangan Nagari
lebih berdaya dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, bagaimana skema
pembagian (penyerahanan) kewenangan, perencanaan, dan keuangan kepada Nagari; bagaimana memperkuat peran
lembaga yang ada di Nagari
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan
masyarakat, serta bagaimana menyinergikan peran lembaga bentukan dan lembaga
asli yang ada di Nagari. Intinya dalam hal ini bagaimana kita Nagari
diminangkabau harus mendapat posisi istimewa dalam Undang-undang desa nantinya.
Diskusi-diskusi yang menyangkut eksistensi nagari ini
harus dilakukan secepatnya oleh seluruh element masyarakat sumbar. Ini peluang
besar mumpung Rancangan belum disahkan DPR-RI. Selain itu mumpung Mentri dalam
Negeri Republik Indonesia urang awak dan Gubernur dan wakil gubernur dua orang
datuak yang tentunya lebih mengerti bagaimana mengembangkan sumatera barat
kearah yang lebih baik tanpa menghilangkan eksistensi budaya minangkabau.
Jangan sampai terlambat, jangan sampai alah
abih cakak baru takala silek.
Pendapat pribadi dalam tulisan ini terlalu banyak sehingga tulisan seolah olah suatu keluhan pribadi dan bukan kajian keilmuan yang berdasarkan landasan teori yang kuat sehingga tulisan ini tidak bisa dijadikan sebagai pertimbangan positif negatifnya pemekaran nagari !
Pendapat pribadi dalam tulisan ini terlalu banyak sehingga tulisan seolah olah suatu keluhan pribadi dan bukan kajian keilmuan yang berdasarkan landasan teori yang kuat sehingga tulisan ini tidak bisa dijadikan sebagai pertimbangan positif negatifnya pemekaran nagari !
Pendapat pribadi dalam tulisan ini terlalu banyak sehingga tulisan seolah olah suatu keluhan pribadi dan bukan kajian keilmuan yang berdasarkan landasan teori yang kuat sehingga tulisan ini tidak bisa dijadikan sebagai pertimbangan positif negatifnya pemekaran nagari !