SELAMAT DATANG DIDUNIAKU, MARI BERJUANG UNTUK UMAT DAN BANGSA
PERJUANGAN KOE
Photobucket
Clock
Download Lagu
  • Slank
  • Boomerang
  • Naff
  • Comment
    Pendidikan Hadap Masalah
    Kamis, 17 September 2015
    Peserta didik yang lahir dengan sistem pendidikan yang menindas akan melahirkan generasi penindas baru”(Paulo Freire)
     
    Paulo Freire adalah seorang pakar pendidikan dari negara Brazil, yaitu negara kategori negara dunia ketiga dalam tatanan sistem dunia posisinya sama dengan Indonesia. Paulo adalah orang yang mendobrak sistem pendidikan yang telah mapan yang disamakannya dengan “bank” (banking concept of education) dimana peserta didik diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak mendatangkan hasil dengan lipat ganda.

    Dalam sistem pendidikan bergaya “bank” peserta didik adalah objek investasi dan sumber deposito potensial, sementara guru sebagai perwakilan lembaga- lembaga kemasyarakatan mapan dan mapan adalah depositor atau investornya. Peserta didik dalam sistem ini diperlakukan layaknya sebagai “cawan” (cangkir) guru “cerek” (Teko) artinya Guru dalam hal ini menjadi pemegang kekuasaan atau Subjek sementara peserta didik hanya objek pasif yang siap menurut.

    Pendidikan bergaya “bank” menurut Paulo Freire hanya mampu merubah penafsiran seseorang terhadap sesuatu yang dihadapinya, namun tidak akan mampu mengubah realitas dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru bukan pencipta. Peserta didik yang lahir dari sistem pendidikan penindas bergaya “bank” akan muncul sebagai generasi penindas baru.
    Melawan dominasi status quo pendidikan bergaya “bank” Freire sampai pada formulasi filsafatnya sendiri yang dinamakannya sebagai “Pendidikan Kaum Tertindas” sebagai sistem pendidikan yang dibangun bersama dan bukan diperuntukan untuk kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini adalah sistem pendidikan untuk pembebasan bukan untuk penguasaan atau dominasi. Paulo Freire menyebut model pendidikannya sebagai Pendidikan Hadap Masalah, Peserta didik dan pendidik menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berfikir dan pada saat yang bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya.

    Berkaca temuan Paulo Freire di brazil, kondisi pendidikan di Indonesia sebagai sama-sama negara dunia ketiga tidak jauh berbeda. Di Indonesia juga menemukan cara yang sudah hampir sama dengan pemikiran Paulo untuk membangun masyarakat dalam kerangka pendidikan. Lihat saja tersurat dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia nomor 103 tahun 2014 tentang pembelajaran pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pada pasal 2 ayat 7 dan 8 peraturan tersebut tercantum Pendekatan pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik/pendekatan berbasis proses keilmuan, merupakan pengorganisasian pengalaman belajar dengan urutan logis meliputi proses pembelajaran: mengamati; menanya; mengumpulkan informasi/mencoba; menalar/mengasosiasi; dan mengomunikasikan.

    Lebih lanjut secara jelas disuratkan pada lampiran permendikbud no 103 tahun 2014 bahwa Peserta didik adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Untuk itu pembelajaran harus berkenaan dengan kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam proses kognitifnya. Agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, peserta didik perlu didorong untuk bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berupaya keras mewujudkan ide-idenya.

    Selain didalam Kurikulum 2013, mulai dari Kurikulum 1984 (CBSA), 1994, 2004 (KBK), dan 2006 (KTSP) pada prinsipnya hampir sama menggunakan pendekatan yang berorientasi kepada siswa, maksudnya murid lebih aktif dan peranan guru dalam hal ini hanya menjadi fasilitator. Jika demikian kurikulum di Indonesia sudah pada jalurnya dan sesuai dengan apa yang dipikirkan Paulo Freire. Artinya yang tersurat dalam kurikulum tersebut sejalan dengan prinsip Praxis yang menjadi kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan kaum tertindas Paulo Freire. Praxis adalah manunggal karsa, kata dan karya karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berfikir, berbicara dan berbuat. Dengan kata lain praxis tidak memisahkan ketiga fungsi atau aspek tersebut namun padu dalam gagasan maupun cara wujud seseorang sebagai manusia seutuhnya.

    Jika konsep pendidikan di Indonesia sudah sejalan dengan sistem pendidikan yang telah terbukti mumpuni di terapkan oleh Paulo Freire pertanyaannya kenapa pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara lain di dunia?

    Ketertinggalan Pendidikan Indonesia dapat dilihat dari data yang disampaikan Menteri Kebudayaan, Pendidikan dasar dan menengah Anis Baswedan menyebut kondisi pendidikan Indonesia saat ini sedang dalam kondisi gawat darurat. Dari sejumlah data yang dimiliki Kemendikbud, dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia menunjukkan hasil buruk.

    Fakta-fakta yang menunjukkan buruknya kualitas pendidikan di Indonesia adalah (1) Nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5. Padahal, nilai standar kompetensi guru adalah 75. (2) Indonesia masuk dalam peringkat 40 dari 40 negara, pada pemetaan kualitas pendidikan, menurut lembaga The Learning Curve. (3) Pendidikan Indonesia masuk dalam peringkat 64, dari 65 negara yang dikeluarkan oleh lembaga Programme for International Study Assessment (PISA), pada tahun 2012. (4) Indonesia menjadi peringkat 103 dunia, negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap- menyuap dan pungutan liar. Selain itu, Anies mengatakan, dalam dua bulan terakhir, yaitu pada Oktober hingga November 2014, angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam dan luar sekolah di Indonesia mencapai 230 kasus.(Kompas, 1/1/2014)

    Masalah rendahnya peringkat pendidikan Indonesia tidak hanya terjadi baru baru ini, permasalahan tersebut selalu saja menjadi diskusi dan program pemerintah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk perbaikan pendidikan diantaranya perbaikan sarana, prasarana pendidikan dan perbaikan kurikulum. Jika kurikulum sudah pada jalurnya artinya kita bisa yang menjadi pangkal permasalahan adalah rendahnya kompetensi pendidik atau guru di Indonesia. jika kompetensi guru rendah sebaik apapun kurikulum pendidikan tentunya tidak akan bisa membawa pendidikan indonesia kearah yang baik. Rendahnya kompetensi guru tersebut menurut penulis muncul karena beberapa faktor diantaranya: Pertama, Guru lahir dari pola pendidikan yang menindas. dari pengamatan penulis sebagai mahasiswa atau dosen baru, ada yang salah dengan pola pendidikan di universitas kependidikan dari dahulu hingga sekarang. Calon pendidik atau Guru di Universitas kependidikan dididik dengan pendidikan bergaya “bank” dan tercerabut dari realitas dunianya.
    Sistem pendidikan pada kampus kependidikan yang notabene melahirkan pendidik/guru tidak sama sekali menghadapkan peserta didiknya pada realitas dunia pendidikan yaitu sekolah sebagai laboratorium bagi calon pendidik. Misalnya saja pada mata kuliah yang berkaitan dengan kependidikan seperti perencanaan pembelajaran dan strategi pembelajaran. Pada mata kuliah ini idelanya dosen dan mahasiswa sama-sama menjadi subjek dan harus bersentuhan langsung dan menjadikan sekolah sebagai objeknya tetapi pada kenyetaannya tidak ada sama sekali.

    Kedua, Pemerintah dalam hal ini muncul sebagai investor penindas artinya pemerintah secara tidak langsung menganggap guru hanya sebagai kelompok yang harus di isi sesuai dengan keinginan penguasa. Contohnya dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan pergantian kurikulum, guru tidak dilibatkan sebagai subjek yaitu kelompok yang idealnya harus berpartisipasi aktif dalam perumusan kurikulum. Selama ini guru hanya dijadikan robot yang diajarkan sebagai pelaksana kurikulum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
    Kedua faktor diatas membawa dampak buruk bagi kompetensi guru di Indonesia dan tentunya berdampak kepada kualitas pendidikan. Kondisi  senada dengan yang disampaikan Paulo Freire ketika peserta didik (guru/calon guru)  dididik dengan pendidikan yang menindas dia akan menjadi generasi penindas baru bagi peserta didiknya.

    Berkaca dari apa yang sudah penulis uraikan diatas, Konsep kurikulum di Indonesia sudah hampir sama dengan konsep Paulo Freire. Namun implementasi dari rambu kurikulum yang belum berjalan dengan baik yaitu pendidik dan peserta didik saling belajar satu sama lainya. Idealnya dalam proses ini pendidik mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh peserta didik dan pertimbangan sang pendidik di uji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan peserta didik dan sebaliknya. sehingga hubungan keduanya (pendidik dan peserta didik) sebagai subjek – subjek bukan subjek-objek. Objek dalam hal ini adalah realita maka dengan demikian tercipta suasana dialogis untuk memahami suatu objek bersama.  Begitu juga idealnya hubungan antara pemerintah dengan pendidik sama-sama menjadi subjek pendidikan.
     
    Reno Fernandes
    (Dosen Pendidikan Sosiologi UNP dan Peneliti Revolt Insitute)
     Tulisan Ini dimuat di Koran HarianHaluan 7 September 2015
    posted by RENO FERNANDES @ 18.53  
    0 Comments:

    Posting Komentar

    << Home
     
    TENTANG KOE

    Name: RENO FERNANDES
    Home: Padang, Sumatera Barat, Indonesia
    About Me:
    See my complete profile
    JANTUNG KOE
    Photobucket
    KARYA KOE
    Archives
    Links
    Powered by

    BLOGGER

    © RENO FERNANDES Blogger Templates by FUAD NARI