SELAMAT DATANG DIDUNIAKU, MARI BERJUANG UNTUK UMAT DAN BANGSA
PERJUANGAN KOE
Photobucket
Clock
Download Lagu
  • Slank
  • Boomerang
  • Naff
  • Comment
    Pendidikan Hadap Masalah
    Kamis, 17 September 2015
    Peserta didik yang lahir dengan sistem pendidikan yang menindas akan melahirkan generasi penindas baru”(Paulo Freire)
     
    Paulo Freire adalah seorang pakar pendidikan dari negara Brazil, yaitu negara kategori negara dunia ketiga dalam tatanan sistem dunia posisinya sama dengan Indonesia. Paulo adalah orang yang mendobrak sistem pendidikan yang telah mapan yang disamakannya dengan “bank” (banking concept of education) dimana peserta didik diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak mendatangkan hasil dengan lipat ganda.

    Dalam sistem pendidikan bergaya “bank” peserta didik adalah objek investasi dan sumber deposito potensial, sementara guru sebagai perwakilan lembaga- lembaga kemasyarakatan mapan dan mapan adalah depositor atau investornya. Peserta didik dalam sistem ini diperlakukan layaknya sebagai “cawan” (cangkir) guru “cerek” (Teko) artinya Guru dalam hal ini menjadi pemegang kekuasaan atau Subjek sementara peserta didik hanya objek pasif yang siap menurut.

    Pendidikan bergaya “bank” menurut Paulo Freire hanya mampu merubah penafsiran seseorang terhadap sesuatu yang dihadapinya, namun tidak akan mampu mengubah realitas dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru bukan pencipta. Peserta didik yang lahir dari sistem pendidikan penindas bergaya “bank” akan muncul sebagai generasi penindas baru.
    Melawan dominasi status quo pendidikan bergaya “bank” Freire sampai pada formulasi filsafatnya sendiri yang dinamakannya sebagai “Pendidikan Kaum Tertindas” sebagai sistem pendidikan yang dibangun bersama dan bukan diperuntukan untuk kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini adalah sistem pendidikan untuk pembebasan bukan untuk penguasaan atau dominasi. Paulo Freire menyebut model pendidikannya sebagai Pendidikan Hadap Masalah, Peserta didik dan pendidik menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berfikir dan pada saat yang bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya.

    Berkaca temuan Paulo Freire di brazil, kondisi pendidikan di Indonesia sebagai sama-sama negara dunia ketiga tidak jauh berbeda. Di Indonesia juga menemukan cara yang sudah hampir sama dengan pemikiran Paulo untuk membangun masyarakat dalam kerangka pendidikan. Lihat saja tersurat dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia nomor 103 tahun 2014 tentang pembelajaran pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pada pasal 2 ayat 7 dan 8 peraturan tersebut tercantum Pendekatan pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik/pendekatan berbasis proses keilmuan, merupakan pengorganisasian pengalaman belajar dengan urutan logis meliputi proses pembelajaran: mengamati; menanya; mengumpulkan informasi/mencoba; menalar/mengasosiasi; dan mengomunikasikan.

    Lebih lanjut secara jelas disuratkan pada lampiran permendikbud no 103 tahun 2014 bahwa Peserta didik adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Untuk itu pembelajaran harus berkenaan dengan kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam proses kognitifnya. Agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, peserta didik perlu didorong untuk bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berupaya keras mewujudkan ide-idenya.

    Selain didalam Kurikulum 2013, mulai dari Kurikulum 1984 (CBSA), 1994, 2004 (KBK), dan 2006 (KTSP) pada prinsipnya hampir sama menggunakan pendekatan yang berorientasi kepada siswa, maksudnya murid lebih aktif dan peranan guru dalam hal ini hanya menjadi fasilitator. Jika demikian kurikulum di Indonesia sudah pada jalurnya dan sesuai dengan apa yang dipikirkan Paulo Freire. Artinya yang tersurat dalam kurikulum tersebut sejalan dengan prinsip Praxis yang menjadi kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan kaum tertindas Paulo Freire. Praxis adalah manunggal karsa, kata dan karya karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berfikir, berbicara dan berbuat. Dengan kata lain praxis tidak memisahkan ketiga fungsi atau aspek tersebut namun padu dalam gagasan maupun cara wujud seseorang sebagai manusia seutuhnya.

    Jika konsep pendidikan di Indonesia sudah sejalan dengan sistem pendidikan yang telah terbukti mumpuni di terapkan oleh Paulo Freire pertanyaannya kenapa pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara lain di dunia?

    Ketertinggalan Pendidikan Indonesia dapat dilihat dari data yang disampaikan Menteri Kebudayaan, Pendidikan dasar dan menengah Anis Baswedan menyebut kondisi pendidikan Indonesia saat ini sedang dalam kondisi gawat darurat. Dari sejumlah data yang dimiliki Kemendikbud, dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia menunjukkan hasil buruk.

    Fakta-fakta yang menunjukkan buruknya kualitas pendidikan di Indonesia adalah (1) Nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5. Padahal, nilai standar kompetensi guru adalah 75. (2) Indonesia masuk dalam peringkat 40 dari 40 negara, pada pemetaan kualitas pendidikan, menurut lembaga The Learning Curve. (3) Pendidikan Indonesia masuk dalam peringkat 64, dari 65 negara yang dikeluarkan oleh lembaga Programme for International Study Assessment (PISA), pada tahun 2012. (4) Indonesia menjadi peringkat 103 dunia, negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap- menyuap dan pungutan liar. Selain itu, Anies mengatakan, dalam dua bulan terakhir, yaitu pada Oktober hingga November 2014, angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam dan luar sekolah di Indonesia mencapai 230 kasus.(Kompas, 1/1/2014)

    Masalah rendahnya peringkat pendidikan Indonesia tidak hanya terjadi baru baru ini, permasalahan tersebut selalu saja menjadi diskusi dan program pemerintah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk perbaikan pendidikan diantaranya perbaikan sarana, prasarana pendidikan dan perbaikan kurikulum. Jika kurikulum sudah pada jalurnya artinya kita bisa yang menjadi pangkal permasalahan adalah rendahnya kompetensi pendidik atau guru di Indonesia. jika kompetensi guru rendah sebaik apapun kurikulum pendidikan tentunya tidak akan bisa membawa pendidikan indonesia kearah yang baik. Rendahnya kompetensi guru tersebut menurut penulis muncul karena beberapa faktor diantaranya: Pertama, Guru lahir dari pola pendidikan yang menindas. dari pengamatan penulis sebagai mahasiswa atau dosen baru, ada yang salah dengan pola pendidikan di universitas kependidikan dari dahulu hingga sekarang. Calon pendidik atau Guru di Universitas kependidikan dididik dengan pendidikan bergaya “bank” dan tercerabut dari realitas dunianya.
    Sistem pendidikan pada kampus kependidikan yang notabene melahirkan pendidik/guru tidak sama sekali menghadapkan peserta didiknya pada realitas dunia pendidikan yaitu sekolah sebagai laboratorium bagi calon pendidik. Misalnya saja pada mata kuliah yang berkaitan dengan kependidikan seperti perencanaan pembelajaran dan strategi pembelajaran. Pada mata kuliah ini idelanya dosen dan mahasiswa sama-sama menjadi subjek dan harus bersentuhan langsung dan menjadikan sekolah sebagai objeknya tetapi pada kenyetaannya tidak ada sama sekali.

    Kedua, Pemerintah dalam hal ini muncul sebagai investor penindas artinya pemerintah secara tidak langsung menganggap guru hanya sebagai kelompok yang harus di isi sesuai dengan keinginan penguasa. Contohnya dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan pergantian kurikulum, guru tidak dilibatkan sebagai subjek yaitu kelompok yang idealnya harus berpartisipasi aktif dalam perumusan kurikulum. Selama ini guru hanya dijadikan robot yang diajarkan sebagai pelaksana kurikulum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
    Kedua faktor diatas membawa dampak buruk bagi kompetensi guru di Indonesia dan tentunya berdampak kepada kualitas pendidikan. Kondisi  senada dengan yang disampaikan Paulo Freire ketika peserta didik (guru/calon guru)  dididik dengan pendidikan yang menindas dia akan menjadi generasi penindas baru bagi peserta didiknya.

    Berkaca dari apa yang sudah penulis uraikan diatas, Konsep kurikulum di Indonesia sudah hampir sama dengan konsep Paulo Freire. Namun implementasi dari rambu kurikulum yang belum berjalan dengan baik yaitu pendidik dan peserta didik saling belajar satu sama lainya. Idealnya dalam proses ini pendidik mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh peserta didik dan pertimbangan sang pendidik di uji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan peserta didik dan sebaliknya. sehingga hubungan keduanya (pendidik dan peserta didik) sebagai subjek – subjek bukan subjek-objek. Objek dalam hal ini adalah realita maka dengan demikian tercipta suasana dialogis untuk memahami suatu objek bersama.  Begitu juga idealnya hubungan antara pemerintah dengan pendidik sama-sama menjadi subjek pendidikan.
     
    Reno Fernandes
    (Dosen Pendidikan Sosiologi UNP dan Peneliti Revolt Insitute)
     Tulisan Ini dimuat di Koran HarianHaluan 7 September 2015
    posted by RENO FERNANDES @ 18.53   0 comments
    Jumat, 04 September 2015
    Disfungsi Institusi Pendidikan
    Oleh
    Reno Fernandes
    (Dosen Jurusan Pendidkan Sosiologi, Universitas Negeri Padang
    Dimuat di Harian Padang Ekspres Tanggal 7 Mei 2014


    Ki Hadjar Dewantara mengemukan bahawa Pendidikan bertujuan untuk mendidik manusia mengenal budayanya sendiri, memiliki identitas lokal yang harus ditunjukan sebagai bentuk eksistensi diri supaya tidak tercerabut dan hilang dari perwujudan dirinya secara paraktis dan konkrit sebagai masyarakat yang berbudaya.
    Agaknya sorotan tajam mata masyarakat Indonesia tertuju pada perkembangan dan masalah-masalah Pendidikan di Indonesia. Dapat dikatakan apa yang terjadi pada Institusi Pendidikan kita tidak sesuai lagi dengan apa yang di cita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara seperti yangdi tuliskan diatas. Akhir-akhir ini muncul berbagai permasalahan yang sangat menampar Institusi Pendidikan kita. Permasalahan tersebut terjadi di Sekolah Berstandar Internasional sampai sekolah yang berada di daerah, terjadi di Jakarta juga terjadi di Sumatera Barat. Lihat saja kabar yang mengejutkan yang dimuat pada Koran Harian Padang Ekspres tanggal 2 Mei 2014. Padang Ekspres Mewartakan ada Pelajar Arisan Seks di Luhak Limapuluh Kota.
    Arisan Seks!!! Membaca Judul berita tersebut membuat lidah kita terasa kaku tanpa bisa berkata sejenak. Arisan Seks, Tentunya bukan kata yang ramah dan biasa bagi telinga Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua, Bupati, Gubernur, Presiden, Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai di Sumatera Barat. Peristiwa ini membuat Sumatera Barat gempar. membuat sang Bupati harus mengumpulkan seluruh kepala sekolah, Kepala sekolah harus mengumpulkan Guru, Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak pandai tidak lupa pula berkomentar sembari mencari penyebab dan jalan keluar terkait permasalahan ini begitu berita yang kita baca pada Padang ekspres Sabtu 3/5/2014
    Arisan Seks Pelajar !!! menyikapi perilaku menyimpang ini menurut penulis Institusi yang paling bertanggung jawab terhadap permasalahan serius ini adalah Institusi Pendidikan. Dalam hal ini institusi pendidikan kita dapat dikatakan gagal menjalankan perannya. Institusi Pendidikan idealnya berjalan sesuai dengan amanah undang undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Pada pasal 1 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.
    Disebut juga pada pasal di atas bahwa Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
    Tidak hanya sampai disana, Fenomena penyimpangan sosial yang terjadi di Indonesia selalu dijawab dengan perbaikan kurikulum. Dalam kurikulum secara jelas dan tegas harus memuat mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang. Kurikulum di Indonesia untuk menjawab kebutuhan serta harapan masyarakat terhadap institusi pendidikan telah mengalami beberapa kali perubahan. Dalam perjalanan sejarah bangsa sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 (KTSP) dan Kurikulum 2013
    Perbaikan kurikulum yang terakhir, kurikulum 2013 tetunya direncanakan untuk menjawab persoalan-persoalan Pendidikan. Pada Kurikulum 2013 Pendidikan berkarakter menjadi Ruh Kurikulum tersebut. Karakter yang dimaksud adalah perwujudan keseimbangan antara Kognitif, Afektif dan Psikomotorik peserta didik.
    Untuk mencapai keseimbangan tersebut dalam kurikulum 2013 di rumuskan Kompetensi Inti. Kompetensi Inti merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan yang harus dimiliki seorang Peserta Didik pada setiap tingkat kelas atau program yang menjadi landasan Pengembangan Kompetensi dasar. Kompetensi Inti mencakup: sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan yang berfungsi sebagai pengintegrasi muatan Pembelajaran, mata pelajaran atau program dalam mencapai Standar Kompetensi Lulusan.
    Namun sangat di sayangkan amanah undang –undang dan ketentuan kurikulum yang harus diperankan oleh Institusi Pendidikan masih saja terjadi perilaku menyimpang yang dilakoni oleh para pelajar,bahkan guru. Kenapa?
    Jawabannya adalah, selama ini konsep baik mengenai pendidikan tidak berjalan pada tingkat pelaksanaannya. Konsep tersebut hanya menjadi dekorasi menghias bibir sang menteri menyampaikan pidato keberhasilannya. Sementara konsep baik tersebut hanya ditumpuk dalam tulisan-tulisan kertas namun tidak diamalkan secara kongkrit dan nyata.
    Keadaan diatas membuat institusi pendidikan tidak berhasil melalukan pendewasaan diri terhadap anak didiknya. Institusi Pendidikan di Republik ini gagal melakukan penataan pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai luhur seperti yang diamanahkan Pancasila dan Undang-undang dasar.
    Jika kita telah bersepakat menyatakan kegagalan Institusi Pendidikan element yang paling bertanggung jawab terhadap ketidakberhasilan institusi pendidikan ini adalah Guru. Seperti yang sama-sama kita ketahui Guru adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru merupakan element terpenting dalam sebuah institusi pendidikan.
    Guru sebagai Orang terdidik yang akan di Gugu dan ditiru ternyata gagal menginternalisasi nilai-nilai baik bangsa ini. Namun kembali lagi kepada persoalannya apakah hanya Guru yang harus menanggung dosa ini, ternyata tidak juga dosa ini milik bersama. Dosa ini juga menjadi milik pemerintah.
     Pemerintah selama ini hanya menempatkan guru sebagai objek tidak subjek. Pemerrintah menjadikan guru sebagai objek yang lemah tanpa perhatian yang serius dan cendrung didiskriminasi. Memang upaya meningkatkan sumber daya Guru telah dilakukan oleh Pemerintah melalui program-progaramnya salah satunya sertifikasi guru. Harapan Program Sertifikasi guru adalah terbentuknya guru yang berkualitas dengan gaji yang dinilai cukup mensejahterakan. Tetapi sertifikasi guru dengan syarat administrasi yang begitu rumit membuat guru lebih direpotkan mengurus administrasi sertifikasinya dari pada esensi sertifikasi tersebut.
    Sertifikasi yang digadang-gadang pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru berbungkus kesejahteraan ternyata berdampak buruk. Progamam ini memaksa guru mengajar dengan beban maksimal 24 SKS Alhasil yang terjadi tidak ada lagi kesempatan Guru belajar dan meng up grate Ilmu dan Informasinya. Guru disibukkan dengan hanya menyampaikan materi ajar tanpa sempat menjalankan fungsi lain yaitu mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
    Program sertifikasi dengan beban yang banyak adalah bentuk ketidak ikhlasan Pemerintah memberi kesejahteraan kepada Guru. Nah diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan jika ingin perilaku anak-anak bangsa ini baik. Mulailah dari perbaikan kualitas Guru dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraannya karna Guru Kencing Berdiri, Murid Arisan Seks


    posted by RENO FERNANDES @ 08.33   0 comments
    Nasib, Kurikulum Layu Sebelum Berkembang

    Nasib, Kurikulum Layu Sebelum Berkembang 

    Oleh

    Reno Fernandes
    (Pemerhati Pendidikan dan Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Padang)


    Beberapa hari belakang ini penulis menyimak komentar dan tulisan yang dimuat di Padang Ekspres. Mulai dari Headline Padek, Minggu 7 Desember 2014 tentang sambuatan baik Ikatan Guru Indonesia tentang penghentian Kurikulum 2013 sampai pada tulisan Dekan Fakultas Tarbiyah dan keguruan IAIN Imam Bonjol Padang, Senin 8 Desember 2014. Penulis tertarik untuk mengutip kalimat beliau yaitu “ Jikapun ada kekurangan atau kelebihan kurikulum yang tengah berjalan maka cukup lakukan dua hal pertahankan kelebihannya dan perbaiki kekurangannya.
    Solusi yang ditawarkan dalam tulisan Dekan Fakultas Tarbiyah dan keguruan IAIN Imam Bonjol Padang diatas sangat tepat mengingat tidak sedikit tenaga, fikiran dan tentunya biaya untuk membuat dan menjalankan sebuah kurikulum. fantastis dana yang dikucurkan untuk kurikulum 2013 mencapai 2.491 Trilliun (Lihat http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/1014). Pertanyaannya apakah pengorbanan yang sudah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya akan sia-sia? Semoga tidakDengan acuan beberapa berita dan tulisan diatas, penulis ingin memberikan pembahasan yang berbeda dan mendalam mengenai hakekat perubahan kurikulum.
    Dalam tulisan ini penulis juga ingin memberikan   solusi agar pergantian kurikulum di Indonesia lebih terencana dan tidak terkesan  “ganti mentri ganti kurikulum”.Pergantian KurikulumSejarah mencatat semenjak indonesia merdeka telah terjadi 10 (sepuluh) kali perubahan kurikulum, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984 (CBSA), 1994, 2004 (KBK), 2006 (KTSP) dan Kurikulum 2013. Tercatat juga dalam sejarah perubahannya, kurikulum KBK  dan K13  berumur paling pendek dibanding dengan kurikulum lainnya. Pergantian kurikulum di Indonesia selalu didahului oleh pergantian mentri.Lihat saja, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) lahir pada masa Abdul Malik Fajar menjabat Menteri Pendidikan Nasional pada 2004 dimasa Presiden Megawati Soekarno Putri. Kemudian di Era Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kurikulum KBK harus diganti dengan pengesahkan Kurikulum KTSP oleh Bambang Sudibyo selaku mentri pendidikan dan kebudayaan. Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh juga membidani kurikulum 2013 yang penggunaannya harus berakhir  dimasa Presiden Jokowi dengan Mentrinya Anis Baswedan.
    Hakekat KurikulumMengacu kepada defenisi kurikulum yang berasal dari bahasa curere (tempat berpacu). Istilah yang akrab didunia olah raga ini diartikan sebagai jarak yang ditempuh oleh para pelari dari start sampai finish untuk memperoleh medali atau penghargaan. Setelah itu istilah kurikulum diadopsi dunia pendidikan dan difenisikan menjadi sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh ijazah.Kurikulum adalah penentu arah dan ketercapaian tujuan pendidikan dan penentu ragam kompetensi yang ingin dicapai dari suatu proses pendidikan dan pembelajaran.
    Kurikulum dibuat harus dapat menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat sebagai penguna pendidikan. Jadi kurikulum harus senantiasa diperbaharui namun pergantian kurikulum tidaklah boleh terkesan tergesa-gesa. Perlu diingatkan perubahan kurikulum hendaknya harus dengan kajian dan evaluasi yang mendalam. Setidaknya dalam merubah kurikulum harus memperhatikan beberapa prinsip. Sukmadinata (2000) menjelaskan terdapat lima prinsip pengembangan dan evaluasi kurikulum yaitu: Prinsip Relevansi, fleksibelitas, kontinuitas, praktis atau efesiensi dan efektifitas.Mengenai diberhentikanya Kurikulum 2013, Jujur harus kita sampaikan kebijakan yang dikeluarkan oleh Mentri Anis Baswedan tidaklah langkah yang arif dan bijaksana mengingat kepemimpinan Mentri Anis Baswedan di Kementrian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah yang belum cukup seratus hari kerja.
    Penghentian kurikulum 2013 dengan alasan guru merasa terbebani, buku ajar yang belum sampai disekolah merupakan argumentasi yang sangat dangkal untuk mengganti sebuah kurikulum. Pantasnya, pemerintah perlu lebih lanjut menjalankan sembari mengevaluasi kurikulum yang tengah berjalan.Kebijakan Mentri Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai penghentian kurikulum 2013 pantas disesalkan oleh mentri pendidikan kebudayaan sebelumnya. Mohammad Nuh, menilai kebijakan kembali pada Kurikulum 2006 adalah langkah mundur. Kurikulum 2013 secara substansi dinilainya tidak ada masalah. Kalau ada masalah teknis, mestinya dicarikan solusi perbaikannya, bukan balik ke belakang sebab KTSP secara substansi ada kekurangan dan secara teknis juga perlu penyiapan lagi (Kompas, 7 Desember 2014)Pernyataan Muhammad Nuh diatas tentunya ada benarnya mengingat Kurikulum 2013 baru pada masa percobaan dan sosialisasi. bahkan sampai hari ini masih ada pelatihan yang ditujukan kepada guru mengenai kurikulum ini. artinya masyarakat, guru dan siswa belum menikmati konsekuensi penerapan kurikulum 2013.
    jadi kalau kurikulum belum berjalan sebagaimana mestinya sudah dihentikan menurut penulis adalah emosi sesaat dari sebuah rezim baru. Untuk itui akan lebih baik penerapan kurikulum 2013 tetap dilanjutkan sembari melakukan monitoring dan evaluasi yang mendalam.Menengahi permasalahan ganti mentri ganti kurikulum. Penulis mengemukakan sebuah solusi  agar tidak ada lagi kurikulum yang diganti sebelum dijalankan dengan baik  atau kurikulum yang layu sebelum berkembang seperti yang terjadi pada Kurikulum 2013. Hemat penulis perlu dibuat aturan yang mengikat tentang pergantian kurikulum tersebut. Pergantian kurikulum harus dengan  perencanaan dan evaluasi yang matang. Pergantian kurikulum hendaknya mempunyai jangka waktu yang proporsional yang diatur didalam undang-undang pendidikan nasional. Sehingga proses evaluasi berkelanjutan terjadi, pengukuran keberhasilan sebuah  kurikulum berjalan tidak dengan emosional sesaat. 


    posted by RENO FERNANDES @ 08.16   0 comments
    TENTANG KOE

    Name: RENO FERNANDES
    Home: Padang, Sumatera Barat, Indonesia
    About Me:
    See my complete profile
    JANTUNG KOE
    Photobucket
    KARYA KOE
    Archives
    Links
    Powered by

    BLOGGER

    © RENO FERNANDES Blogger Templates by FUAD NARI