SELAMAT DATANG DIDUNIAKU, MARI BERJUANG UNTUK UMAT DAN BANGSA
PERJUANGAN KOE
Photobucket
Clock
Download Lagu
  • Slank
  • Boomerang
  • Naff
  • Comment
    Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian
    Jumat, 21 Januari 2011
    Reno Fernandes
    (Ketua PPD HMI Cabang Padang dan Pendidik di SMA Donbosco)

    Satu-satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang ayah, tiga tiga sayang adik kakak, satu, dua, tiga sayang semuanya hamper tak terdengar lagi didendangkan oleh anak-anak dibumi pertiwi ini, yang kita dengar seorang bocah melantangkan lirik-lirik yang berisi “Dasar kau keong racun baru kenal ngajak tidur ngomong gak sopan santun kau anggap aku ayam kampung Kau rayu diriku,kau goda diriku,kau colek diriku eyyy kau tak tau malu. miris juga kita mendengarkan dendangan anak-anak kecil, mereka baru 5 tahun walau terbata mereka mendendangkan keong racun, lebih membuat hati miris lagi sang ibu bertepuk bangga melihat anaknya pandai menyanyi dan menari dengan lantunan lagu keong racun. Jika hal seperti ini terjadi mau jadi apa anak itu jika sudah dewasa? Kita yakin dan percaya bahwasanya sosialisasi itu akan membentuk kepribadian seseorang. Jika kita defenisikan Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.
    Pergeseran Bentuk Sosialisasi
    Berdasarkan bentuknya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.
    Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.
    Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
    Sementara Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.
    Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan lingkunganyang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah didalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga.Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain.
    Peran media massa dalam sosialisasi memang tidak dapat di elakkan lagi, media massa sebagai agen sosialisasi telah banyak menggantikan peran agen lainnya,  keluarga seperti dijelaskan diatas adalah agen yang berfungsi sebagai peletak dasar nilai-nilai social, telah digantikan oleh televisi, anak berusia 1-5 tahun berada dirumah idealnya ditanamkan nilai-nilai kebaikan, tentang kasih sayang kepada sesama, tentang bagaimana berbuat baik, bagaimana menghormati orang lain, pada tahapan ini agen sosialisasi yang seharusnya berfungsi adalah orang tua, namun sangat disayangkan peran orang tua sudah banyak digeser oleh televisi, Radio. Di TV dan Radio lebih banyak di suguhkan dengan nyanyi yang seyogyanya diperuntukkan untuk orang dewasa, sekarang sudah dikosumsi dengan mudah oleh anak-anak. Nyanyian mengenai cinta dan percintaan sudah menjadi hal yang biasa di dilantunkan oleh anak-anak. Muungkin akan menjadi tanda Tanya besar bagi kita apakah yang terjadi dimasa yang kan datang kepada anak-anak ini jika hari ini mereka sudah mengenal tentang peran-peran yang idealnya dilakoni oleh orang yang sudah dewasa.
    Menyikapi hal seperti ini, hendaknya orang tua harus lebih arif mengawasi perkembangan kepribadian anak-anaknya. Suguhilah mereka dengan apa yang semestinya pantas mereka dapatkan. Bukan malah ketawa dan bangga melihat anak-anak melihat anak melakoni peran yang seharusnya belum mereka lakoni. Kembali letakkan sesuatu pada tempatnya. Anak-anak dalam usia dalam pengawasan keluarga biasanya baru mencapai proses Persiapan dan peniruan akan nilai-nilai yang ada dalam keluarga. Kepribadian mereka setalah dewasa sangat dipengaruhi oleh pondasi awal yakni sosialisi dalam keluarga. Jika pondasi itu tidak kokoh maka, sedikit saja terjadi gempa bangunan itu tentunya akan ambruk dengan mudah. Mari kita mulai perbaiki mentalitas bangsa dari dini.yakin usaha sampai

    posted by RENO FERNANDES @ 00.56   0 comments
    Mahasiswa : Harapan Masyarakat Indonesia
    Sabtu, 01 Januari 2011
    OLEH
    RENO FERNANDES
    (Ketua HMI Cabang Padang)

    Mahasiswa adalah sebutan bagi orang-orang yang melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi.  Mahasiswa mempunyai peranan yang amat penting bagi masyarakat. Selain belajar. Mahasiswa merupakan penyalur aspirasi rakyat ke pemerintah. Mahasiswa mempunyai banyak akses untuk menyalurakan aspirasi rakyat ke pemerintah. Mahasiswa adalah harapan masyarakat, begitulah idealnya Mahasiswa. Tentang status dan peran mahasiwa tergambar dalam Tridarma Perguruan Tinggi yang berisikan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
    Tri Darma Perguruan Tinggi tentunya harus dipahami oleh semua kalangan mahasiswa. Kalau hal itu dipahami, maka perguruan tinggi benar – benar menghasilkan para sarjana yang berkualitas, berdedikasi, dan berintegritas. Dimulai dari fungsinya sebagai insan akademis, insan agama, sampai pada insan kemasyarakatan. Sejarah pun menggoreskan tinta emas tentang peranan mahasiswa Indonesia. Perjalanan sejarah itu dimulai dari 1908 sampai pada 1998. Gerakan mahasiswa telah menjadi fenomena penting dalam perubahan politik yang terjadi di Indonesia. Pada sast itu Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat berpendidikan dan sehari-harinya bergelut dengan pencarian kebenaran dalam kampus melihat kenyataan yang berbeda dalam kehidupan nasionalnya. Kegelisahan kalangan mahasiswa ini kemudian teraktualisasikan dalam aksi-aksi protes yang kemudian mendorong perubahan yang reformatif dalam sistem politik di Indonesia.
    Namun pada kenyataannya, pada jaman sekarang, mahasiswa dapat dibedakan menjadi dua. Mahasiswa yang hanya mengejar keberhasilan di dunia kerja dan mahasiswa yang tidak hanya mengejar keberhasilan tetapi juga sebagai penyalur aspirasi. Segala keluhan masyarakat terhadap pemerintah dapat disalurkan melalui mahasiswa. Hanya segelintir mahasiswa yang mau menunaikan kewajiban ini. Hal ini sangat kontras dengan mahasiswa yang berada di jaman Orde Baru. Sebagian besar mahasiswa bergerak bersama-sama untuk melawan rezim Orde Baru. Mereka mengemban amanat dari seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini sungguh sangat ironis. Bagaimana kehidupan masyarakat dapat menjadi sejahtera jika penyalur-nya saja Harapan itu mandul atau dapat dikatakan sudah separoh mati.

    Asal muasal Keruntuhan Idealisme Mahasiswa
    Harus diakui, arus modernisasi yang berjalan kuat dan pesat, membuat dinamika kemahasiswaan berjalan sangat dinamis dengan tingkat kebebasan berpikir yang sangat tinggi. Melalui disiplin keilmuan yang diterimanya serta jaringan pergaulan dan informasi yang mampu diaksesnya, menjadikan mahasiswa hidup dalam dunia kebebasan yang sangat lebar. Modernisasi telah benar-benar menggeser dan meruntuhkan segala pranata yang sudah mapan, termasuk pranata moral keagamaan dan sosial.
    Seorang ilmuan muslim Mesir kenamaan Hassan Hanafi, mensinyalir bahwa modernisasi mampu menyuguhkan sejuta opsi dalam satu hal kecil yang sangat terbatas sekalipun. Di sana tersedia sejumlah standar dan ukuran-ukuran. Siapa pun bebas menggunakan ukuran dan standar tersebut, bahkan juga berganti-ganti dari satu standar ke standar yang lain. Kebebasan menggunakan standar inilah yang kemudian meruntuhkan segala bangunan pranata sosial-keagamaan yang sudah mapan.
    Lihatlah bagaimana generasi muda kampus melakukan seks bebas, obat-obatan terlarang, dan larut dalam tuntutan-tuntutan gaya hidup modern lainnya. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang berlatarbelakang masyarakat desa dengan kultur yang sangat bertolak belakang. Alfin Tofler menyebut gejala ini dengan cultural shock, sebuah keterkejutan budaya yang tanpa disadari menyeretnya ke dalam arus kebudayaan baru yang tidak dikenal sebelumnya.
    Modernisasi memang benar-benar menjadi satu persoalan tersendiri dalam kultur masyarakat praindustri, seperti Indonesia. Di dalamnya terjadi aneka kontradiksi yang berjalan dalam satu irama perubahan pada dimensi kultural dan kesadaran manusia. Dalam jeratan kultur seperti inilah, lanjut Hassan Hanafi, setiap orang berkecenderungan kembali kepada nilai-nilai primordialnya atau membangun mekanisme defensif dengan mengusung sebuah nilai-nilai fundamental yang sangat asasi. Biasanya, alternatif pengimbang terhadap modernisasi dipilihlah nilai-nilai keagamaan.
    Tesis yang diajukan oleh Hanafi adalah semakin deras arus modernisasi mengguncang sendi-sendi kultural sebuah masyarakat, maka kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai primordialnya juga semakin kuat. Ini yang ditemukan Hanafi tentang perkembangan fundamentalisme kristen di zaman pencerahan Eropa, atau munculnya gerakan Islam puritan di negara-negara Islam Timur Tengah, termasuk berkembangnya gerakan Islam radikal di Pakistan, Mesir dan Turki, khususnya di zaman Kemal Attaturk.
    Tampaknya, sinyalemen Hanafi tidak terlalu berlebihan untuk digunakan dalam meneropong fenomena perkembangan menguatnya gerakan Islam di berbagai kampus umum di Indonesia. Setidaknya, ada dua indikasi yang menguatkannya.
    Pertama, gerakan Islam kampus ini berkembang di kota-kota besar dengan tingkat modernisasi yang cukup tinggi. Sebaliknya, di kota-kota yang derajat modernisasinya sangat kecil, kehadiran mereka sulit untuk diterima. Artinya, fenomena itu menjadi kekhasan masyarakat perkotaan.
    Kedua, sebagai bentuk kecenderungannya yang sangat kuat terhadap ornamen-ornamen keagamaan (Islam), nuansa puritanismenya ditonjolkan jauh lebih kental sehingga kontras dengan khazanah-khazanah lokal. Ini menjadi ciri yang paling tampak dari gerakan-gerakan Islam puritan. Biasanya mereka kesulitan membangun titik konvergensi antara tuntutan formalisme keagamaan dengan realitas aktual kebudayaan lokal yang sedang berkembang.
    Mengapa modernisme, pada dimensinya yang lain, mendorong orang untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental atau primordialismenya? Seorang ilmuan Donald Smith menengarai ada tiga sebab.
    Pertama, modernisme dapat menyebabkan pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan struktur eklesiastikal. Modernisme dapat menyebabkan ruang sosial pecah, tanpa terhubung antara satu dengan yang lain. Misalnya politik terpisah dari agama, ekonomi dijauhkan dari prinsip-prinsip keadilan dan lain sebagainya.
    Kedua, ekspansi politik merambah ke dalam semua segmen sosial dalam menjalankan semua fungsinya, sehingga agama kehilangan peran sosialnya.
    Ketiga, terjadi transvaluasi kultur politik yang lebih mengutamakan pentingnya nilai-nilai yang rasional, pragmatis, profan dan non-transendental. Ketiga hal ini, lanjut Smith terjadi secara universal di semua lapisan masyarakat modern.

    Agenda yang Belum Tuntas
    Begitu kuatnya pengaruh modernisme yang mampu meruntuhkan segala bangunan sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, maka dalam dunia Islam timbul polemik yang cukup serius, apakah modernisme sesuai dengan agama atau malah bertolak belakang.
    Kelompok yang memahaminya bertolak belakang dari doktrin agama mengambil sikap resistensi dan konfrontasi, sehingga disebut sebagai kelompok fundamentalis. Ini muncul di beberapa negara seperti Iran, Sudan dan lain-lain. Mereka membangun sebuah antitesa dengan menampilkan Islam sebagai kekuatan tandingan. Di sini kesadaran keagamaan tidak semata-mata dipahami sebagai cara dan pola hidup, tetapi juga dipahami alternatif sistem yang harus diperlawankan dengan sistem mana pun juga.
    Sementara kelompok yang menyetujui modernitas mengambil sikap afirmatif-kompromistik dan menganggapnya sebagai bagian dari dimensi doktrinal keagamaan. Sederhananya, menurut kelompok ini, bukankah agama sendiri menganjurkan kemajuan.
    Bagaimana sebetulnya pengaruh modernitas terhadap bangunan keagamaan?
    Seorang cendekiawan muslim Indonesia Prof Dr Nurcholish Madjid mengatakan bahwa esensi modernisasi sebenarnya adalah rasionalisasi. Sebuah upaya penempatan formula-formula teologis kedalam bingkai ilmiah-teoritis. Dengan demikian, dalam konteks keagamaan, modernisme diperlawankan dengan dogmatisme. Karena dogmatisme sudah pasti irrasional. Itulah sebabnya, mengapa sang cendekiawan selalu mengkampanyekan keharusan modernisasi terhadap bangunan keagamaan sejak tahun 70-an.
    Jadi dalam hal meningkatkan spirit perjuangan Mahasiswa Indonesia, dapat dilakukan dengan kembali mengkaji nilai dasar perjuangan mahasiswa tersebut, nilai dasar perjuangan tersebut tentunya harus berlandaskan ke Indonesiaan dan keagamaan, Mahasiswa sebagai kaum intelektual perlu melihat sesuatu masalah dengan Rasional dan yang paling terpenting meningkatkan Independensinya (memihak pada kebenaran), Kembali kepada umat dan Bangsa, Hilangkan Prilaku Elitis.

    posted by RENO FERNANDES @ 09.37   0 comments
    TENTANG KOE

    Name: RENO FERNANDES
    Home: Padang, Sumatera Barat, Indonesia
    About Me:
    See my complete profile
    JANTUNG KOE
    Photobucket
    KARYA KOE
    Archives
    Links
    Powered by

    BLOGGER

    © RENO FERNANDES Blogger Templates by FUAD NARI